Jakarta - Cadangan energi minyak dan gas (Migas) Indonesia saat ini masih tersisa hanya untuk kebutuhan puluhan tahun saja. Jika dihitung dari saat ini, cadangan gas masih tersisa 35 tahun dan minyak hanya tersisa 10 tahun saja.
Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Johanes Widjonarko mengatakan cadangan minyak Indonesia saat ini tidak lebih dari 4 miliar barel.
"Cadangan minyak kita tidak lebih dari 4 miliar barel, jika dikurangi dengan produksi minyak Indonesia tiap harinya (840.000 barel per hari) maka hanya akan cukup sampai 10 tahun saja," ucap Johanes dalam Dialog Energi Tahun 2013, di Balai Kartini, Kamis (11/7/2013).
Sementara untuk cadangan gas Indonesia walau lebih lama namun hanya tersisa sampai 35 tahun lagi. "Cadangan gas kita mencapai 103 triliun kaki kubik (tcf) walau lebih banyak tapi hanya sampai 35 tahun lagi," ujarnya.
Untuk menambah cadangan minyak dan gas bumi Indonesia hanya bisa dilakukan dengan terus melakukan eksplorasi mencari sumber-sumber baru.
"Namun sekarang ini tidak lah mudah untuk mencari minyak dan gas bumi, butuh dana yang sangat besar, perizinan yang banyak dan panjang sampai medan yang berada di pedalaman dan laut dalam," ujarnya.
Ia menambahkan masalah lainnya kurangnya infrastruktur yang dibangun, sehingga apa yang dihasilkan apakah minyak atau gas tidak bisa langsung dinikmati.
"Seperti di Jawa Timur, sudah mengeluarkan modal cukup besar, gas sebesar 50 juta kaki kubik per hari nganggur tidak bisa di jual karena pipa yang seharusnya ada untuk menyalurkan gas ke industri dan masyarakat tidak ada, ini siapa yang harus bertanggung jawab?," tandasnya.
Pertamina Rogoh Rp 15 Triliun untuk Jaga Stok BBM 22 HariPT Pertamina (Persero) harus merogoh triliunan rupiah untuk menjaga stok BBM di masyarakat. Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina Afdal Bahaudin mengatakan pihaknya harus menyediakan stok BBM selama 22 hari.
"Akibatnya Pertamina harus siapkan dana Rp 15 triliun untuk siapkan itu, Rp 15 triliun itu dipendam saja," ucapnya dalam Dialog Energi Tahun 2013, di Balai Kartini, Kamis (11/7/2013).
Ia juga mempertanyakan standar ganda Pemerintah terhadap Pertamina, terkait permasalahan ketahanan energi. "Saya tidak tahu siapa yang bertugas menjaga ketahanan energi bangsa ini? Pertamina kah atau Pemerintah?," kata Afdal.
Menurutnya di negara-negara lain, ketahanan energi menjadi tugas pemerintah, sementara di Indonesia menjadi tugas perusahaan migas milik negara yaitu Pertamina.
Sementara disisi lain, ketika Pertamina ingin meningkatkan ketahanan energi Indonesia dengan membangun kilang, Pertamina harus ikut tender, bangun proyek energi lain harus tender, ingin ngebor minyak harus ikut tender.
"Kami jadi bertanya, mengapa pemerintah sikapnya standar ganda, belum lagi Pertamina harus menopang ide-ide kreatif pemerintah, harus distribusi elpiji non PSO (tidak bersubsidi) tapi dengan harga yang murah dengan subsidinya dilakukan Pertamina, tapi mau kembangkan investasi kita harus ikut tender juga," katanya.
Negara Beri Subsidi BBM Sama Saja Memiskinkan RakyatSubsidi yang diberikan oleh pemerintah selama ini, termasuk subsidi BBM ternyata tidak efektif dan malah dianggap memiskinkan rakyat. Kok bisa begitu?
"Biar bagaimanapun akhirnya, subsidi itu akan menyengsarakan rakyatnya. Kalau ada pemerintah bilang, ini kamu saya subsidi, ini ya kamu subsidi itu sama saja ini kamu saya miskinkan, kamu miskin," tegas Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Qoyum Tjandranegara dalam Diaglog Energi Tahun 2013 di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (11/7/2013).
Seperti subsidi BBM, menurut Qoyum, jenis subsidi ini sangat tidak efektif. Karena ternyata 70% dinikmati oleh orang-orang mampu yang tidak berhak disubsidi oleh pemerintah. Bahkan, Qoyum mengutip survei terakhir Universitas Indonesia (UI) yang mengatakan 94% BBM subsidi dinikmati oleh orang yang mampu.
Belum lagi, karena ada subsidi dan bensin murah, konsumsi BBM makin besar. Akhirnya pemerintah Indonesia harus mengimpor BBM dari luar negeri dengan jumlah yang cukup besar. Ini semua menyita banyak anggaran negara.
"Kalau kita pakai gas, itu rakyat kita hanya beli Rp 4.500 setera premium per liter, namun yang terjadi kita jual gas kita dengan harga murah, tapi kita membeli minyak (BBM) dengan harga Rp 9.000 per liter. Apa itu tidak memiskinkan negara dan memiskinkan rakyat kita? Ada energi yang murah tapi kita malah beli dengan harga yang lebih mahal," kata Qoyum.
(hen/syu)