Jakarta - Ada banyak merek aditif bahan bakar kendaraan yang saat ini beredar di pasar. Ternyata, peredaran aditif itu masih liar. Karena belum ada standar baku untuk aditif atau octane booster yang beredar di nusantara.
Sampai saat ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengakui kalau pemerintah belum menetapkan standar aditif seperti apa yang layak digunakan oleh masyarakat.
"Memang regulasi itu masih sifatnya wacana, kami baru mulai membahasnya tahun ini," ujar jubir Ditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Muhidin, dalam Seminar Forum Kajian Industri Nasional tentang Penggunaan Enhance Octan Booster Non-Oxygenated dalam Bahan Bakar Bensin.
Sampai kini, lanjutnya, Kementerian ESDM masih terus mencari rumusan yang tepat untuk dijadikan peratuan resmi menyangkut zat aditif bensin yang beredar di pasar.
"Sampai sekarang kami masih membuka kesempatan bagi siapa saja yang ada masukan, akan kami kaji lebih lanjut," lanjutnya.
Aditif yang digunakan dalam bensin atau minyak solar, terangnya, harus memenuhi beberapa persyaratan di antaranya kompatibel dengan minyak mesin (tidak menyebabkan kekotoran mesin).
"Selain itu, aditif yang terbuat dari bahan yang dapat membentuk abu (ash forming material) seperti aditif yang berbahan dasar logam (organometallic) tidak diperbolehkan," katanya.
Padahal menurut peneliti Lemigas Lies Aisyah ada beberapa jenis bahan aditif yang berbahaya. Saat ini, aditif MTBE sudah dilarang penggunaannya di Amerika Serikat karena dapat mencemari air tanah dan pada konsentrasi tinggi bersifat karsinogenik.
Selain mengganggu kesehatan, aditif ternyata juga dapat merusak mesin kendaraan terutama aditif yang dibuat dari senyawa berbasis logam misalnya MMT (metilsiklopentadienil manganese tricarbonil) dan Ferrocene (disiklopentadienil iron).
Aditif MMT diketahui juga dapat dapat mengganggu sistem pengapian, sensor oksigen, konverter dan deposit pada dinding silinder. Batas pemakaian aditif MMT di Amerika dan Kanada adalah 8,2 mg/L bensin.
Sementara aditif ferrocene sangat dibatasi penggunaannya terutama di Amerika karena merupakan logam berat dan pada aplikasinya dapat mengikis ring piston, silinder dan gangguan pengapian.
"Memilih oktan booster yang baik adalah memastikan zat itu tidak mengubah komposisi dari bahan bakar itu sendiri atau justru menimbulkan senyawa lain yang merugikan," jelas Lies.
Sejauh ini, pengaturan penggunaan aditif untuk BBM yang berlaku saat ini adalah Peraturan Dirjen Migas Nomor 16.K/34/DDJM/1992 tentang Pengawasan Aditif untuk Bahan Bakar Minyak dan atau Pelumas yang Beredar di Dalam Negeri. Namun, terdapat beberapa kendala pada implementasinya seiring dengan kian pesatnya kemajuan teknologi mesin kendaraan dan spesifikasi BBM sehingga perlu dilakukan penyempurnaan.
"Secara konsep, aditif yang beredar di dalam negeri wajib didaftarkan kepada Ditjen Migas. Aditif yang terdaftar dapat dipasarkan dengan mencantumkan pada kemasan sekurang-kurangnya unjuk kerja teknis sesuai hasil uji laboratorium," bebernya.
Bila ternyata, banyak efek negatif, Kepala Bidang Transportasi Darat Kementerian Lingkungan Hidup Muhammad Zakaria menambahkan kalau mereka mendukung sosialisasi dampak penggunaan aditif terhadap kesehatan dan lingkungan. "Harus dilakukan upaya agar tidak berdampak negatif terhadap masyarakat ataupun kendaraan bermotor,â ujarnya.
(syu/ddn)